Aku bahkan tidak tau seberapa besar rasa ini ada. Besar? Atau sangat
besar? Sepertinya rasa ini terlalu besar sampai aku sulit
mendeskripsikan. Kerinduan yang seharusnya diredamkan dengan sebuah
pertemuan. Seberapa banyak pertemuan yang hanya dibuahkan oleh mimpi
sebentar? Bagiku terlalu sebentar untuk mengatakan apa yang membuatku
rindu. Senyummu, tawamu, kekosongan matamu, diammu, bahkan amarahmu pun
sangat terasa sebagai wujud rindu.
Ketika aku mengingat sebuah kenangan yang sebelumnya tidak aku rasakan akan menjadi kenangan. Kalau aku pernah berjaga-jaga tentang kenangan, maka akan aku abadikan setiap detik kelakuan itu. Setidaknya aku tau bagaimana cara mata itu mampu meneduhkanku. Aku memang tidak berandai untuk terus berada selalu dekatmu. Karena sekalipun kita sejalan ada kalanya jalan itu bercabang. Entah kita nantinya bertemu kembali di persimpangan, atau kamu yang berhenti disaat aku masih sanggup berjalan.
Bukan karena ketidaksanggupan jika ketidakberadaanmu yang nantinya membuat rapuh. Tapi aku hanya butuh pendengar disaat semua menutup telinga dari sebuah kesaksian. Bukan karena ketidakikhlasan pada keadaan, tapi aku hanya butuh mimpi untuk menyatukan memori-memori yang tidak mungkin lagi senyata dunia. Bahkan kalau mimpi itu lakon utamanya aku dan kamu, aku rela mendadak menjadi putri tidur tanpa bangun.
Kamu mungkin lebih bahagia sekarang, tapi jika tidak ada kamu, lalu untuk siapa lekukan sabit di bibir ini? Untuk dia? Dia siapa? Aku masih mencari sosok kamu di diri orang lain. Dan tenyata NIHIL.
Merindukan hal-hal sederhana yang sebelumnya memang terasa menjengkelkan. Seperti hal-hal "kelupaan" yang membuat bertengkar, dan saat itu aku enteng bergumam "yaudah sih". Atau ketika mood makan sedang down, dan kamu sering mengingatkan, tapi selalu dijawab "entar". Tapi sekarang "yaudah sih" dan "entar" itu bahkan ingin aku hilangkan dan gantikan dengan "iya, akan aku lakukan".
Ketika kamu mengajak bergurau, sedang dengan dingin aku menyambutnya, kamu minggir dan tersenyum masam. Tapi aku dengan kerutan dahi menambah keengganan. Sekarang, jika saat itu memang dapat diulang, aku akan menanggapi gurauanmu sampai akhirnya kita lelah tertawa.
Dan kini aku tau semua yang sebelumnya aku anggap angin lalu terasa sangat mengilukan saat aku ditepuk dengan rasa kehilangan. Yang paling menyakitkan saat ini adalah memendam tanpa bilang bahwa rindu itu ada untuk kamu yang telah tiada. Mungkin kamu sekarang lebih sering memantauku, yang jangkauannya lebih luas dari dahulu. Kini hanya dengan doa yang aku jadikan penyambung tentang sebuah cinta yang kamu bawa ke alam sana.
Miss you so much.
Ketika aku mengingat sebuah kenangan yang sebelumnya tidak aku rasakan akan menjadi kenangan. Kalau aku pernah berjaga-jaga tentang kenangan, maka akan aku abadikan setiap detik kelakuan itu. Setidaknya aku tau bagaimana cara mata itu mampu meneduhkanku. Aku memang tidak berandai untuk terus berada selalu dekatmu. Karena sekalipun kita sejalan ada kalanya jalan itu bercabang. Entah kita nantinya bertemu kembali di persimpangan, atau kamu yang berhenti disaat aku masih sanggup berjalan.
Bukan karena ketidaksanggupan jika ketidakberadaanmu yang nantinya membuat rapuh. Tapi aku hanya butuh pendengar disaat semua menutup telinga dari sebuah kesaksian. Bukan karena ketidakikhlasan pada keadaan, tapi aku hanya butuh mimpi untuk menyatukan memori-memori yang tidak mungkin lagi senyata dunia. Bahkan kalau mimpi itu lakon utamanya aku dan kamu, aku rela mendadak menjadi putri tidur tanpa bangun.
Kamu mungkin lebih bahagia sekarang, tapi jika tidak ada kamu, lalu untuk siapa lekukan sabit di bibir ini? Untuk dia? Dia siapa? Aku masih mencari sosok kamu di diri orang lain. Dan tenyata NIHIL.
Merindukan hal-hal sederhana yang sebelumnya memang terasa menjengkelkan. Seperti hal-hal "kelupaan" yang membuat bertengkar, dan saat itu aku enteng bergumam "yaudah sih". Atau ketika mood makan sedang down, dan kamu sering mengingatkan, tapi selalu dijawab "entar". Tapi sekarang "yaudah sih" dan "entar" itu bahkan ingin aku hilangkan dan gantikan dengan "iya, akan aku lakukan".
Ketika kamu mengajak bergurau, sedang dengan dingin aku menyambutnya, kamu minggir dan tersenyum masam. Tapi aku dengan kerutan dahi menambah keengganan. Sekarang, jika saat itu memang dapat diulang, aku akan menanggapi gurauanmu sampai akhirnya kita lelah tertawa.
Dan kini aku tau semua yang sebelumnya aku anggap angin lalu terasa sangat mengilukan saat aku ditepuk dengan rasa kehilangan. Yang paling menyakitkan saat ini adalah memendam tanpa bilang bahwa rindu itu ada untuk kamu yang telah tiada. Mungkin kamu sekarang lebih sering memantauku, yang jangkauannya lebih luas dari dahulu. Kini hanya dengan doa yang aku jadikan penyambung tentang sebuah cinta yang kamu bawa ke alam sana.
Miss you so much.
No comments:
Post a Comment